Rabu, 20 April 2016

Jalur Pelayaran Penghubung Pesisir ke Pedalaman Ibu Kota Majapahit Abad Ke-14



 Dari penelitian yang diadakan kampus UIN Sunan Ampel Surabaya, siswi jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam menuliskan tentang rute yang ditempuh para penyebar agama baik dari Persia maupun Cina menurut cacatan-catatan sejarah. Dalam penyebaran agama Islam menuju kerajaan majapahit, Peneliti mempetakan dua penyebar yang memasuki kerajaan dan wilayah Majapahit berdasarkan nisan, prasasti serta manuskrip.
Pada awalnya penyebaran agama Islam tidak begitu berkembang, karna Islam mulai berkembang pesat dimulai sejak peran Walisongo di Jawa. Namun penyebaran agama Islam sebelumya juga sudah begitu cepat mebar hingga memasuki Nusantara. Pedagang Muslim asal Arab, Persi dan India diperkirakan telah sampai ke kepulauan Nusantara untuk berdagang sejak abad ke-7 M, yang ketika Islam di Timur Tengah mulai berkembang ke luar dari jazirah Arab. Dari Timur Tengah para pedagang berlayar ke arah timur melintasi laut Arab, teluk Oman, teluk Persi yang kemudian singgah di Gujarat, terus ke teluk Benggala atau langsung ke selat Malaka, terus ke Timur ke Cina ataupun sebaliknya dengan menggunakan angin musim untuk pelayaran pulang pergi. Dan pada abad ke-9 M, terdapat indikasi kapal-kapal Cina juga mengikuti jalur tersebut. Begitu juga pada zaman Sriwijaya dengan kapal-kapal Nusantara mengambil bagian dalam perjalanan ini pedagang dari penduduk Nusantara telah mengunjungi pelabuhan Cina dan pantai Timur Afrika.
Kegiatan-kegiatan pelayaran dan perdagangan yang dilakukan oleh pedagang-pedagang Muslim dari Arab dan Persia melalui selat Malaka ke daerah-daerah pesisir Asia Tenggara dan Cina dapat diketahui dari sumber-sumber Muslim sendiri terutama sejak abad ke-9 sampai ke-11. Pelayaran dan perdagangan internasional tempat para pedagang Muslim berperan serta, berakibat pesisir Jawa Timur terutama Gersik. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya nisan kubur yang bertuliskan nama Fatimah Binti Maimun. Sedangkan pada masa itu masyarakat pribumi adalah daerah kekuasaan kerajaan Hindu Kediri.
Dan menjelang abad ke-13 M masyarakat Muslim sudah ada di Samudra Pasai, Perlak,  Palembang di Pulau Sumatera. Sedangkan di Jawa adalah kota Gersik serta makam Troloyo yang menjadi bukti berkembangnya komunitas Muslim di pusat kejayaan Hindu Majapahit. Akhir abad ke-13 M, adalah abad dimana kerjaan Pasai mulai berdiri, namun kerajaan Islam di luar Nusantara mengalami kemunduran yang dasyat. Dinasti Amawiyah Andalus sedang terdesak ke selatan, dinasti Fatimi mengalami kemunduran, sedangkan perang Salib masih berlansung. Dan pada tahu 1258 Baghdad dihancurkan Hulagu. Melihat kehancuran Baghdad tersebut, mereka mengalihkan aktivitasperdagangannya ke arah Asia Selatan, Asia Timur dan Asia tenggara. Oleh karena itu, munculnya kekuasaan  Samudra Pasai adalah akibat arus balik peranan pedagang Muslim.
Sejak abad ke-13 sampai 14 M, Gujarat menjadi pelabuhan yang ramai. Begitu pula dengan daerah Asia Tenggara menjadi lintasan dagang yang lebih penting dari sebelumnya. Dan pada awal abad 13 M, di Perlak sudah ada pemukiman Muslim pertama kali singgah di daerah itu setelah mengadakan pelayaran jauh dari barat, dan di tempat itupun saudagar Muslim asing menunggu waktu untuk memulai pelayaran ke arah barat menuju negerinya. Oleh karena mereka dapat tinggal lebih lama hingga bersentuhan dengan pribumi sampai terdapat kerajaan Islam pertama yang disebut dengan kerajaan Samudra Pasai.
Sebelum penyebaran agama Islam masuk ke daerah kerajaan Majapahit, maka dapat dilihat tentang makam para wali yang sering dikenal dengan sebutan Wali Sanga yang kebanyakan berada di kota-kota sepanjang pantai utara Pulau Jawa. Seperti makam Sunan Ampel di Surabaya, makam Maulana Malik Ibrahim dan makam Sunan Giri di Gersik, makam Sunan Drajat dekat Lamongan, makam Sunan Bonang di Tuban, makam Sunan Kudus di Kudus, makam Sunan Muria yang tidak jauh dari kota Kudus, makam Sunan Kalijaga di Kadilanggu Demak, dan makam Sunan Gunung Jati di Cirebon. Daerah-daerah tersebut dalam sejarah sosial Jawa dikenal dengan sebutan daerah pesisir.
Tokoh agama Islam di Jawa yang sering disebut dengan Walisongo adalah Sunan Ampel, yang merupakan  tokoh wali yang diyakini menjadi guru bagi para wali lainnya, juga sebagai menantu dari bangsawan Tionghoa Muslim, yang bernama Gan Eng Cu. Peranan Sunan Ampel  sebagai tokoh keturunan Campa dan Cina. Pada masa kerajaan Majapahit adalah kerajaan yang menguasai daerah maritim. Maka terdapat dua jenis pelayaran, yaitu yang pertama adalah pelayaran samudera yang memungkinkan terjadinya hubungan dengan daerah di luar wilayah kerajaan dan pelayaran kedua adalah pelayaran sungai, yang berperan menghubungkan daerah pedalaman dengan darah pesisir, dan juga menghubungkan antara daerah pedalaman yang satu dengan yang lainnya.
Aktivitas peelayaran pedalaman berkembang di Jawa Timur. Hal tersebut disebabkan karena terdapat sungai besar yaitu Bengawan Solo dan Sungai Brantas. Kedua sungai tersebut mempunyai kondisi geografis yang hampir sama, yaitu sangat lebar, tepinya landai, dalam dan arusnya tenang, sehingga keduanya memungkinkan untuk diarungi sampai jauh ke pedalaman. Kondisi tersebut menyebabkankedua sungai tersebut menjadi sangat penting untuk jalur pelayaran.
Dan dalam pelayaran dibutuhkan akan adanya pelabuhan yang digunakan sebagai tempat persinggahan atau tujuan akhir suatu pelayaran. Dan pada masa Majapahit terdapat pertumbuhan beberapa pelabuhan besar, baik di daerah pantai maupun pedalaman. Hal ini menunjukkan bahwa kedua aktivitas pelayaran tersebut berkembang bersamaan di Majapahit.
Melihat isi dari prasasti Canggu tentang jalur pelayaran sungai menuju kerajaan Majapahit maka dapat disimpulkan bahwa para pendatang dan para pedagang orang asing dapat melewati jalur pelayaran yang diuraikan dalam prasasti Canggu diantaranya Nusa, Temon, Parajengan, Pakatekan, Wunlu, Rabutri,, Banyu Mrdu, Godor, Tambak, Puyut, Mireng, Dmak, Klung, Pagdangan, mabuwur, Godong, Rumasan, Canggu, Randu Gowok, Wahas, Nagara, Sarba, Waringin Pitu, Lagada, Pamotan, Tulangan, Palembangan, Jruk, Trung, Kambang Sri, Tdu, Gsang, Buhil, Surabhaya, Madanten, Waringin Wok, Bajrapura, Sambo, Jarebeng, Pabulangan, Balawi, Lamayu, Katapang, Pagaran, Kamudi, Parijik, Pawung, Pasiwuran, Kedal, Bhangkal, Widang, Pakpohan, Lowara, Duri, Rasi, Rewun, Tgalan, Dalangara, Sumbang, Malo, Ngijo, kawangen, Sudah, Kukutu, Balun, Marebo, Turan, Jipang, Ngawi, Wangkalang, Pnuh, Wulung, Barang, Pakatelan, Wareng, Amban, Kembu, dan Wulayu.
Kota pelabuhan Canggu disebut dalam prasati Canggu, Ying-yai Sheng-lan (1415 M), dari masa dinasti Ming, menyebutkan bahwa pelabuhan Canggu (Chang-ku) sebagai pusat perdagangan, sedangakan Surabhaya disebutkan dalam Prasarti Canggu dan Kitab Nagarakertagama pupuh XVII: 5.
Dari berbagai sumber data, diketahui bahwa kawasan situs Canggu secara administratif kawasan situs Canggu terletak pada dua wilayah desa. Kawasan Pelabuhan Lor terletak di dalam wilayah desa Jetis, dan situs Pelabuhan Kidul termasuk dalam wilayah desa Canggu. Kedua desa tersebut termasuk dalam wilayah kecamatan Jetis, kabupaten Mojokerto, yang berpropinsi Jawa Timur. Dan secara geografis kawasan situs canggu berdekatan dengan Sungai Mas yang terletak di sebelah timur  dan Sungai Marmoyo disebelah utara, yang keduanya relatif besar. Dan di tengah kawasan situs terdapat aliran sungai yang cukup kecil, namun sungai tersebut merupakan saluran buatan yang oleh penduduk disebut dengan nama Patusan Wonoayu, yang berfungsi sebagai pembatas wilayah administratif antara padusunan Pelabuhan Lor dan Pelabuhan Kidul.
Dari bukti-bukti yang sudah teruai di atas, maka peneliti menyimpulakan bahwa dari pedagang Persia, Arab dan Gujarat, meyebarkan agama Islam melalui jalur peraiaran pesisir utara Jawa, dari Dari Timur Tengah para pedagang berlayar ke arah timur melintasi laut Arab, teluk Oman, teluk Persi yang kemudian singgah di Gujarat, terus ke teluk Benggala atau langsung ke selat Malaka, terus ke Timur ke Cina ataupun sebaliknya dengan menggunakan angin musim untuk pelayaran pulang pergi. Dan pada abad ke-9 M, terdapat indikasi kapal-kapal Cina juga mengikuti jalur tersebut. 

Kemudian ke arah timur melalui pelabuhan Kudus, Tuban, Gersik dan geser ke Surabaya, dan di teruskan oleh rombongan Tionghoa Muslim dari pelabuhan Surabaya mereka menyusuri sungai ke arah barat, karana kapal yang mereka tumpangi terlalu besar, maka mereka melalui pelayaran dengan perahu masayarakat pribumi menuju kerajaan Majapahit.

Untuk sampai di Majapahit dari Surabaya berlayar dengan perahu kecil kearah Selatan sejauh kurang lebih 70 atau 80 li (40 km) menuju ke pelabuhan Canggu. Kemudian terus ke arah Kaerajaan Majapahit melalui kanal-kanal dengan berlayar menggunakan tumpangan perahu kecil masyarakat Jawa. Namun dalam kitab  Hsi-yang fan-kuo chih yang bertulis angka tahun 1434 oleh Kung Chen jarak Canggu ke Majapahit hanya dapat ditembuh setengah hari.
 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar