Dari penelitian yang diadakan kampus UIN Sunan Ampel Surabaya, siswi jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam menuliskan tentang rute yang ditempuh para penyebar agama baik dari Persia maupun Cina menurut cacatan-catatan sejarah. Dalam penyebaran agama Islam menuju kerajaan majapahit, Peneliti mempetakan dua penyebar yang memasuki kerajaan dan wilayah Majapahit berdasarkan nisan, prasasti serta manuskrip.
Pada awalnya
penyebaran agama Islam tidak begitu berkembang, karna Islam mulai berkembang
pesat dimulai sejak peran Walisongo di Jawa. Namun penyebaran agama Islam
sebelumya juga sudah begitu cepat mebar hingga memasuki Nusantara. Pedagang
Muslim asal Arab, Persi dan India diperkirakan telah sampai ke kepulauan
Nusantara untuk berdagang sejak abad ke-7 M, yang ketika Islam di Timur Tengah
mulai berkembang ke luar dari jazirah Arab. Dari Timur Tengah para pedagang
berlayar ke arah timur melintasi laut Arab, teluk Oman, teluk Persi yang
kemudian singgah di Gujarat, terus ke teluk Benggala atau langsung ke selat
Malaka, terus ke Timur ke Cina ataupun sebaliknya dengan menggunakan angin
musim untuk pelayaran pulang pergi. Dan pada abad ke-9 M, terdapat indikasi
kapal-kapal Cina juga mengikuti jalur tersebut. Begitu juga pada zaman
Sriwijaya dengan kapal-kapal Nusantara mengambil bagian dalam perjalanan ini
pedagang dari penduduk Nusantara telah mengunjungi pelabuhan Cina dan pantai
Timur Afrika.
Kegiatan-kegiatan
pelayaran dan perdagangan yang dilakukan oleh pedagang-pedagang Muslim dari
Arab dan Persia melalui selat Malaka ke daerah-daerah pesisir Asia Tenggara dan
Cina dapat diketahui dari sumber-sumber Muslim sendiri terutama sejak abad ke-9
sampai ke-11. Pelayaran dan perdagangan internasional tempat para pedagang
Muslim berperan serta, berakibat pesisir Jawa Timur terutama Gersik. Hal
tersebut dibuktikan dengan adanya nisan kubur yang bertuliskan nama Fatimah
Binti Maimun. Sedangkan pada masa itu masyarakat pribumi adalah daerah
kekuasaan kerajaan Hindu Kediri.
Dan menjelang abad ke-13 M masyarakat Muslim sudah ada di Samudra
Pasai, Perlak, Palembang di Pulau
Sumatera. Sedangkan di Jawa adalah kota Gersik serta makam Troloyo yang menjadi
bukti berkembangnya komunitas Muslim di pusat kejayaan Hindu Majapahit. Akhir
abad ke-13 M, adalah abad dimana kerjaan Pasai mulai berdiri, namun kerajaan
Islam di luar Nusantara mengalami kemunduran yang dasyat. Dinasti Amawiyah
Andalus sedang terdesak ke selatan, dinasti Fatimi mengalami kemunduran,
sedangkan perang Salib masih berlansung. Dan pada tahu 1258 Baghdad dihancurkan
Hulagu. Melihat kehancuran Baghdad tersebut, mereka mengalihkan
aktivitasperdagangannya ke arah Asia Selatan, Asia Timur dan Asia tenggara.
Oleh karena itu, munculnya kekuasaan
Samudra Pasai adalah akibat arus balik peranan pedagang Muslim.
Sejak abad ke-13 sampai 14 M, Gujarat menjadi pelabuhan yang ramai.
Begitu pula dengan daerah Asia Tenggara menjadi lintasan dagang yang lebih
penting dari sebelumnya. Dan pada awal abad 13 M, di Perlak sudah ada pemukiman
Muslim pertama kali singgah di daerah itu setelah mengadakan pelayaran jauh
dari barat, dan di tempat itupun saudagar Muslim asing menunggu waktu untuk
memulai pelayaran ke arah barat menuju negerinya. Oleh karena mereka dapat
tinggal lebih lama hingga bersentuhan dengan pribumi sampai terdapat kerajaan
Islam pertama yang disebut dengan kerajaan Samudra Pasai.
Sebelum penyebaran agama Islam masuk ke daerah kerajaan Majapahit,
maka dapat dilihat tentang makam para wali yang sering dikenal dengan sebutan Wali
Sanga yang kebanyakan berada di kota-kota sepanjang pantai utara Pulau
Jawa. Seperti makam Sunan Ampel di Surabaya, makam Maulana Malik Ibrahim dan
makam Sunan Giri di Gersik, makam Sunan Drajat dekat Lamongan, makam Sunan
Bonang di Tuban, makam Sunan Kudus di Kudus, makam Sunan Muria yang tidak jauh
dari kota Kudus, makam Sunan Kalijaga di Kadilanggu Demak, dan makam Sunan
Gunung Jati di Cirebon. Daerah-daerah tersebut dalam sejarah sosial Jawa
dikenal dengan sebutan daerah pesisir.
Tokoh agama Islam di Jawa yang sering disebut dengan Walisongo
adalah Sunan Ampel, yang merupakan tokoh
wali yang diyakini menjadi guru bagi para wali lainnya, juga sebagai menantu
dari bangsawan Tionghoa Muslim, yang bernama Gan Eng Cu. Peranan Sunan
Ampel sebagai tokoh keturunan Campa dan
Cina. Pada masa kerajaan Majapahit adalah kerajaan yang menguasai daerah
maritim. Maka terdapat dua jenis pelayaran, yaitu yang pertama adalah pelayaran
samudera yang memungkinkan terjadinya hubungan dengan daerah di luar wilayah
kerajaan dan pelayaran kedua adalah pelayaran sungai, yang berperan
menghubungkan daerah pedalaman dengan darah pesisir, dan juga menghubungkan
antara daerah pedalaman yang satu dengan yang lainnya.
Aktivitas peelayaran pedalaman berkembang di Jawa Timur. Hal
tersebut disebabkan karena terdapat sungai besar yaitu Bengawan Solo dan Sungai
Brantas. Kedua sungai tersebut mempunyai kondisi geografis yang hampir sama,
yaitu sangat lebar, tepinya landai, dalam dan arusnya tenang, sehingga keduanya
memungkinkan untuk diarungi sampai jauh ke pedalaman. Kondisi tersebut
menyebabkankedua sungai tersebut menjadi sangat penting untuk jalur pelayaran.
Dan dalam pelayaran dibutuhkan akan adanya pelabuhan yang digunakan
sebagai tempat persinggahan atau tujuan akhir suatu pelayaran. Dan pada masa
Majapahit terdapat pertumbuhan beberapa pelabuhan besar, baik di daerah pantai
maupun pedalaman. Hal ini menunjukkan bahwa kedua aktivitas pelayaran tersebut
berkembang bersamaan di Majapahit.
Melihat isi dari prasasti Canggu tentang jalur pelayaran sungai
menuju kerajaan Majapahit maka dapat disimpulkan bahwa para pendatang dan para
pedagang orang asing dapat melewati jalur pelayaran yang diuraikan dalam
prasasti Canggu diantaranya Nusa, Temon, Parajengan, Pakatekan, Wunlu,
Rabutri,, Banyu Mrdu, Godor, Tambak, Puyut, Mireng, Dmak, Klung, Pagdangan,
mabuwur, Godong, Rumasan, Canggu, Randu Gowok, Wahas, Nagara, Sarba, Waringin
Pitu, Lagada, Pamotan, Tulangan, Palembangan, Jruk, Trung, Kambang Sri, Tdu,
Gsang, Buhil, Surabhaya, Madanten, Waringin Wok, Bajrapura, Sambo, Jarebeng,
Pabulangan, Balawi, Lamayu, Katapang, Pagaran, Kamudi, Parijik, Pawung,
Pasiwuran, Kedal, Bhangkal, Widang, Pakpohan, Lowara, Duri, Rasi, Rewun,
Tgalan, Dalangara, Sumbang, Malo, Ngijo, kawangen, Sudah, Kukutu, Balun,
Marebo, Turan, Jipang, Ngawi, Wangkalang, Pnuh, Wulung, Barang, Pakatelan,
Wareng, Amban, Kembu, dan Wulayu.
Kota pelabuhan Canggu disebut dalam prasati Canggu, Ying-yai
Sheng-lan (1415 M), dari masa dinasti Ming, menyebutkan bahwa pelabuhan
Canggu (Chang-ku) sebagai pusat perdagangan, sedangakan Surabhaya disebutkan
dalam Prasarti Canggu dan Kitab Nagarakertagama pupuh XVII: 5.
Dari berbagai sumber data, diketahui bahwa kawasan situs Canggu
secara administratif kawasan situs Canggu terletak pada dua wilayah desa.
Kawasan Pelabuhan Lor terletak di dalam wilayah desa Jetis, dan situs Pelabuhan
Kidul termasuk dalam wilayah desa Canggu. Kedua desa tersebut termasuk dalam
wilayah kecamatan Jetis, kabupaten Mojokerto, yang berpropinsi Jawa Timur. Dan
secara geografis kawasan situs canggu berdekatan dengan Sungai Mas yang
terletak di sebelah timur dan Sungai
Marmoyo disebelah utara, yang keduanya relatif besar. Dan di tengah kawasan
situs terdapat aliran sungai yang cukup kecil, namun sungai tersebut merupakan
saluran buatan yang oleh penduduk disebut dengan nama Patusan Wonoayu, yang
berfungsi sebagai pembatas wilayah administratif antara padusunan Pelabuhan Lor
dan Pelabuhan Kidul.
Dari bukti-bukti yang sudah teruai di atas, maka peneliti
menyimpulakan bahwa dari pedagang Persia, Arab dan Gujarat, meyebarkan agama
Islam melalui jalur peraiaran pesisir utara Jawa, dari Dari Timur Tengah para
pedagang berlayar ke arah timur melintasi laut Arab, teluk Oman, teluk Persi
yang kemudian singgah di Gujarat, terus ke teluk Benggala atau langsung ke
selat Malaka, terus ke Timur ke Cina ataupun sebaliknya dengan menggunakan
angin musim untuk pelayaran pulang pergi. Dan pada abad ke-9 M, terdapat
indikasi kapal-kapal Cina juga mengikuti jalur tersebut.
Kemudian ke arah timur melalui pelabuhan Kudus, Tuban, Gersik dan geser ke Surabaya, dan di teruskan oleh rombongan Tionghoa Muslim dari pelabuhan Surabaya mereka menyusuri sungai ke arah barat, karana kapal yang mereka tumpangi terlalu besar, maka mereka melalui pelayaran dengan perahu masayarakat pribumi menuju kerajaan Majapahit.
Kemudian ke arah timur melalui pelabuhan Kudus, Tuban, Gersik dan geser ke Surabaya, dan di teruskan oleh rombongan Tionghoa Muslim dari pelabuhan Surabaya mereka menyusuri sungai ke arah barat, karana kapal yang mereka tumpangi terlalu besar, maka mereka melalui pelayaran dengan perahu masayarakat pribumi menuju kerajaan Majapahit.
Untuk
sampai di Majapahit dari Surabaya berlayar dengan perahu kecil kearah Selatan
sejauh kurang lebih 70 atau 80 li (40 km) menuju ke pelabuhan Canggu. Kemudian
terus ke arah Kaerajaan Majapahit melalui kanal-kanal dengan berlayar
menggunakan tumpangan perahu kecil masyarakat Jawa. Namun dalam kitab Hsi-yang
fan-kuo chih yang bertulis angka tahun 1434 oleh Kung Chen jarak Canggu ke
Majapahit hanya dapat ditembuh setengah hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar